Jumat, 20 September 2013

Bongkar kardus BandrOS

Alhamdulillah saya dapat mencicipi BandrOS, buah karya LIPI yang sempat dibahas di media massa beberapa waktu yang lalu. Yang saya terima adalah kotak yang belum dibuka sama sekali, alhasil saya berkesempatan untuk mengalami bagaimana membuka kotak BandrOS.

Kesan Pertama

Saat menerima kotaknya, kesan pertama saya bahwa BandrOS pada kondisi ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Hal ini nampak jelas pada desain, warna dan eksekusi kemasan yang agak berbeda dari kemasan komersial. Di satu sisi, nampak tulisan BandrOS dengan gambar latar potongan gambar jembatan(?), dengan disematkan beberapa logo yang kurang jelas maksudnya (ada logo bergambar kujang).


Di sisi baliknya ada gambar perangkat kerasnya yang dilihat dari berbagai sisi. Kemudian di sisi samping ada lagi kumpulan logo-logo teknis dan ada tulisan bahwa perangkat ini adalah sebuah prototipe atas kerjasama LIPI, Ristek, dan KEMKOMINFO.

Isi kotak

Susunan kotak mirip dengan susunan kotak kemasan telepon seluler komersial biasanya. Pesawat telepon ada di sisi atas, menempati kotak kecil yang terbuat dari karton seukuran pesawatnya. Di susunan bawah terdapat perangkat pengisi daya, kabel USB, dan peranti dengar sekaligus mikrofon yang masing-masing dikemas dalam plastik bening.


Pesawat telepon memiliki baterai yang diberi label BandrOS tanpa ada keterangan spesifikasi teknisnya. Baterai ini sudah terisi hampir setengahnya.

Pesawat telepon

Pesawat telepon yang menjadi referensi BandrOS sepertinya produk IMO S79 sebagai mana tertera di stiker yang terdapat di dalam kotak. Pesawat ini memiliki 1 colokan USB mikro, 1 colokan audio 3.5 mm 4 kutub, 1 kamera belakang, 1 kamera depan, dan layar 3.5 inci.


Pesawat ini dibuat di Cina (seperti tertera dalam teks di badannya) dan disablon tulisan BandrOS di belakangnya. Sayang sekali kualitas sablonnya kurang baik.

BandrOS

Saat diboot BandrOS menampilkan logo yang saya kurang dapat menangkap bentuk apa itu sebenarnya, kemudian ada layar bertuliskan HARTEKNAS (mungkin saat peluncurannya), dan ada sepotong klip. Sesaat setelah itu langsung masuk layar pengunci.



Saat dibuka, akan muncul layar depan dengan menampilkan jam dan menu. Jika tombol menu ditekan maka muncul daftar aplikasi yang terpasang. Sudah cukup banyak aplikasi yang terpasang dan kebanyakan adalah layanan dari luar negeri (Skype, Twitter, Yahoo! Messenger, YouTube dan Google Talk). Kemudian ada permainan balap mobil dengan grafik yang cukup bagus dijalankan.

Dengan prosesor Cortex A9 1 GHz, aplikasi-aplikasi dapat dibuka dengan cepat dan responsif. Respon taktil berupa getaran juga terasa dengan baik tanpa latensi yang besar.

Sistem BandrOS sepertinya adalah remaster dari Android Gingerbread versi 2.3.6. Sayang sekali saya tidak dapat menemukan aplikasi khas BandrOS di dalam menu tersebut. Dan saat saya coba menggunakan koneksi nirkabel wifi di rumah, peramban yang terpasang tidak dapat menampilkan halaman yang saya ingin buka.

Jika berniat untuk menuju produksi massal, barangkali adalah suatu ide bagus untuk menggaji desainer grafis dan konsultan merek agar hasilnya lebih baik. Sebab di BandrOS versi 1 ini, masih banyak yang perlu dipoles dan digosok. Selain itu, teks lisensi perangkat lunak yang bebas seperti kernel GNU/Linux tidak disertakan tercetak dalam kotak. Saya belum lihat apakah ada versi digitalnya dalam perangkat.

Jika dipikir-pikir

Target pasar BandrOS adalah target menengah ke bawah dengan anggaran kecil. Pesawat IMO S79 berkisar di harga Rp 650 ribu. Jika BandrOS diproduksi massal dengan kondisi sekarang, saya rasa sulit untuk bersaing dengan anak-anak lama yang saling sikut dan tendang untuk meraih kue di bidang ini.

Namun lain ceritanya jika BandrOS juga dibundel dengan aplikasi-aplikasi khas dan untuk keperluan khusus dan dibutuhkan massal, saya kira kesuksesan BandrOS akan lebih bisa dipastikan. Salah satu contoh, misalnya seluruh PNS di Indonesia wajib menggunakan BandrOS dengan aplikasi khusus PNS, ini bisa jadi langkah berikutnya yang bisa digarap tim LIPI karena ekosistemnya otomatis sudah tercipta.

Mudah-mudahan apa pun strategi berikutnya, dapat membawa hasil yang lebih baik.

Catatan:
Foto-foto lain dapat dinikmati di sini: https://www.dropbox.com/sh/zl1o2j6sa7o79xz/y946hFrYcx#/

Senin, 16 September 2013

Tiga mitos open source



Dari beragam kesempatan bertemu komunitas open source, sering saya dapati pemahaman yang sedikit keliru tentang open source. Hal ini mungkin terjadi karena belum memahami open source secara keseluruhan dan kebetulan faktanya memang sedikit abu-abu. Pemahaman-pemahaman yang agak kurang tepat tersebut berubah menjadi mitos yang berkembang. Namun, memang mitos-mitos tersebut dapat menjadi fakta jika ada hal-hal lain yang menunjang.

Open source itu gratis

Tidak sedikit orang (termasuk pejabat negara) yang mengatakan bahwa open source itu gratis, misalnya: "Selama ini anggaran habis hanya untuk program proprietary, jadi kami sangat tertarik dengan solusi open source yang memang gratis". Hal ini sama sekali tidak benar. Solusi open source bisa jadi dapat diperoleh tanpa biaya sedikit pun, namun ada biaya-biaya lain yang menyertai solusi tersebut. Misalnya:
  • biaya pelatihan, untuk dapat menggunakan solusi open source, sebagaimana solusi lainnya, juga membutuhkan biaya untuk melatih para penggunanya
  • biaya migrasi, jika sistem lama yang akan diganti memiliki format data yang jauh berbeda, maka hal ini membutuhkan biaya migrasi yang tidak sedikit
  • biaya integrasi, jika sistem open source tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan hal-hal spesifik yang dibutuhkan pengguna untuk terkoneksi dengan sistem lama, maka perlu memanggil seorang pemrogram untuk menulis modul yang diperlukan.
  • biaya-biaya lain yang tidak terfikirkan sebelumnya, misalnya biaya konsultasi, biaya interoperabilitas, dan lain sebagainya

Open source itu mudah dikembangkan

Pemahaman ini biasanya berdasarkan fakta bahwa kode sumber dapat dilihat oleh pengguna. Memang hal ini lebih mudah, jika si pengguna memang mengerti bahasa pemrograman dan memiliki waktu dan kemampuan untuk memodifikasi sesuai kebutuhan. Namun jika si pengguna awam sama sekali, maka ada atau tidak ada kode sumber itu sama saja. Kembali lagi ke mitos bahwa open source itu gratis. Mitos ini baru bisa menjadi fakta jika si pengguna memiliki tim atau memiliki biaya untuk melakukan modifikasi sesuai kebutuhannya.
Ada juga yang berpendapat bahwa pengembang open source dapat diminta untuk melakukan pengembangan sesuai keinginan kita tanpa biaya, toh open source itu gratis. Hal ini justru bertolak belakang, karena pengembang open source biasanya adalah pengembang-pengembang profesional yang memiliki gaji besar.

Open source itu bebas

Tidak semua perangkat lunak open source bebas. Jika kita bicara perangkat lunak, baik open source atau proprietary, maka kita bicara dua aspek penting:
  • hak cipta, siapa pemilik hak cipta atas kode sumber yang ada. Apakah dimiliki pengembang perangkat lunak atau si pemilik pekerjaan?
  • lisensi, bagaimana perangkat lunak tersebut dapat dimodifikasi, didistribusikan, dijual atau diapakan saja, itu diatur melalui lisensi yang disematkan oleh si pemilik hak cipta
Sering saya dapati pemahaman bahwa jika kita menggunakan perangkat lunak open source, maka otomatis kita memiliki kode sumber tersebut. Padahal belum tentu. Perlu dilihat lagi lisensi apa yang diberikan oleh si pemilik hak cipta. Jika menggunakan lisensi public domain, maka si pemilik hak cipta melepas haknya dan memberikan kode sumber secara keseluruhan ke publik dan terserah publik hendak diapakan kode sumber tersebut. Jika menggunakan lisensi GPL versi 2, maka kode sumber bebas diubah, dipakai, dikembangkan, bahkan dijual, dengan syarat segala perubahan yang dikembangkan juga menggunakan lisensi yang sama. Pemilik hak cipta pun tidak serta-merta beralih ke kita, namun semua yang terlibat melakukan modifikasi memiliki hak cipta atas kode sumber tersebut.

Ada beragam lisensi yang dapat dipilih oleh pemilik hak cipta, beberapa di antaranya dapat dilihat di situs http://opensource.org/licenses.

Di dunia open source, ada beberapa ideologi yang berbeda yang dianut oleh para komunitas pengembang:
  • Ideologi perangkat lunak bebas (free software), yang menjunjung tinggi kebebasan dalam menggunakan, memodifikasi dan mendistribusikan, namun justru mengikat kuat dan membatasi jenis lisensi yang dapat disematkan ke kode sumber. Karya-karya turunan dari kode sumber asli harus menggunakan lisensi yang sama dan melarang menutup kode sumber yang sudah dimodifikasi. Contoh lisensi yang digunakan oleh ideologi ini adalah GPL.
  • Ideologi perangkat lunak liberal, yang menjunjung tinggi kebebasan dalam segala hal, termasuk kebebasan dalam menutup kode sumber. Contoh lisensi yang digunakan oleh ideologi ini adalah BSD dan MIT.
  • Ideologi kode buangan (code drop), yang membuka kode-kode sumber beberapa modul pilihan dan membatasi hak-hak pengguna dalam menggunakan kode sumber tersebut, misalnya kode sumber tersebut tidak boleh dimodifikasi, hanya boleh dipelajari saja, dan sebagainya. Ada banyak perusahaan komersial yang membuka kodenya hanya untuk keperluan studi banding saja. Namun ada juga yang menggunakan lisensi GPL atau lisensi liberal untuk kode buangan ini, intinya, kode-kode ini biasanya memang tidak ditujukan untuk menggunakan model pengembangan open source yang lazim dipakai.

Apa yang harus aktivis lakukan?

Banyak aktivis yang biasanya tidak menyampaikan hal-hal di atas, entah apakah karena memang tidak tahu atau menyembunyikannya. Menurut hemat saya, pemahaman sepenuhnya tentang open source harus disampaikan agar pengguna nanti tidak kecewa. Memang jika kita lihat sekilas, hal-hal di atas dapat menjadi sentimen negatif terhadap open source, namun jangan khawatir. Jika aktivis dapat mendorong pengguna agar mengumpulkan komunitas dengan minat dan menggunakan solusi yang sama, maka biaya-biaya yang disebut di atas serta ongkos pengembangan dapat diatasi secara bergotong royong dan membuka kembali modifikasi yang telah dilakukan ke publik. Inilah ciri utama open source, yaitu kontribusi ke publik, karena open source tanpa kontribusi hanyalah omong kosong.