Jumat, 25 Juli 2014

Harapan Teknologi Informasi dari Pemerintahan Baru

Berhubung akan ada pemerintahan baru, saya jadi kepikiran hal-hal apa saja yang barangkali bisa ditingkatkan dalam pemerintahan ini. Terlepas dari polemik yang sedang terjadi, dan siapa yang nanti akan naik di pemerintahan baru, sesuai bidang saya dan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat umum dan pemerintahan, paling tidak ada beberapa aspek yang menurut saya perlu menjadi alat pertimbangan saat membuat cetak biru landasan TI (Teknologi Informasi) di negara kita. Tulisan ini agak sedikit bercampur mengenai apa yang saya harapkan terjadi di kalangan pemerintahan itu sendiri serta hal yang saya harapkan terjadi di masyarakat. Bagi yang memiliki akses ke pemerintahan baru silakan menggunakan artikel ini sebagai pertimbangan.

F/OSS

Kebijakan menggunakan perangkat lunak bebas/terbuka alias F/OSS (Free/Open Source Software) dalam pemerintahan wajib dilakukan dengan berbagai alasan. Di antaranya adalah alasan kemandirian, transparansi, keterlibatan publik dan biaya. 

Kemandirian adalah salah satu tonggak negara yang maju. Dengan memperkecil kebergantungan kita dari negara lain, maka kita akan lebih bebas menentukan apa yang kita inginkan dan ke arah mana kita ingin berjalan.Vendor atau komunitas yang digandeng dalam implementasi perlu dari dalam negeri agar selain keuntungan sisi TI yang didapat juga dapat meningkatkan ekonomi dan industri kreatif di bidang ini. Perangkat-perangkat keras yang beredar di NKRI juga perlu dapat diakses atau digunakan melalui sistem-sistem berbasis F/OSS sehingga tidak perlulah lagi suatu instansi mengganti sistem operasi komputer hanya untuk dapat mencetak. Ini perlu ada payung hukum agar semua pihak dapat mengakses informasi tanpa terhalang sistem proprietary.

Transparansi membuat masyarakat dapat memahami apa saja yang dilakukan dalam sistem TI yang berdampak bagi kehidupan mereka sehari-hari. Dengan melibatkan para pakar, masyarakat dapat mengetahui apakah ada permainan dalam pengurusan suatu izin, dalam proses pembelian, dalam pemilihan pemenang tender, dan sebagainya. Tentu ada argumen bahwa sistem yang berjalan belum tentu menggunakan kode sumber yang sama dengan yang dipublikasikan, namun ini masih dapat ditangani dengan metode-metode rekayasa perangkat lunak, misalnya dengan menjalankan uji unit secara langsung yang dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk.

Publik yang merasa tidak puas atas kinerja suatu sistem dapat melakukan pengawasan bahkan mengusulkan perbaikan-perbaikan dalam sistem itu. Tanpa adanya praktik pengembangan terbuka, keterlibatan publik seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan. Hal-hal lain yang juga turut tercakup adalah penemuan kesalahan pemrograman atau setelan yang dapat membuat sistem tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu ada argumen penentang misalnya dengan membuka kode sumber berarti bisa memudahkan orang untuk menjebol sistem. Di sini perlu ada mitra si "pemilik" sistem dari sisi komunitas yang memang sengaja digandeng untuk turut mengawasi dan mengaudit jika ada kebocoran di sana-sini. Di sini, F/OSS tidak hanya digunakan sebagai basis implementasi, namun keseluruhan proses implementasi mengikuti kaidah-kaidah F/OSS. 

Biaya saya tempatkan di akhir karena isu gratis atau tidak membayar justru bukan kelebihan F/OSS. Memang ada nilai ekonomis namun hal-hal di atas lebih penting daripada nilai ekonomi itu sendiri, selama perputarannya ada di dalam negeri ini. 

Sebelumnya saya pernah menulis tiga mitos F/OSS yang mungkin bisa jadi bahan pemikiran.

Ramah Lingkungan

Solusi TI yang dipilih sebaiknya tetap memerhatikan lingkungan dalam jangka panjang. Pemilihan perangkat keras dengan pemakaian energi yang kecil sebaiknya lebih diutamakan. Infrastruktur energi terbarukan perlu diperbanyak dan digunakan oleh semua pihak. Daerah-daerah di Indonesia bagian timur yang memiliki akses terbatas ke listrik dapat lebih meningkatkan lagi daya guna penggunaan TI di sana.

Selain itu, pencetakan ke kertas sebaiknya dihindari. Konsekuensinya, kita memerlukan alat lain yang dapat menggantikan kertas. Salah satu sistem yang sering menggunakan kertas adalah proses persuratan. Surat menyurat antar instansi sudah sebaiknya menggunakan Simaya (diinisiasi oleh KOMINFO) yang menjadi tata kelola persuratan hingga ke tingkat disposisi sehingga mengurangi penggunaan kertas. Memang kita sering dengar para pejabat lebih senang membaca surat atau menulis lembar disposisi dalam kertas, tapi mungkin sebaiknya pejabatnya yang dilatih (jangan diganti dulu!) lebih keras lagi dan perlu ada payung hukum untuk hal ini.

Interoperabilitas

Dalam beberapa kali berinteraksi dengan dunia pemerintahan, interoperabilitas menjadi hal yang krusial untuk mengurangi tingkat kepusingan dalam merancang sistem. Saat ini hampir tiap-tiap instansi memiliki standar sendiri-sendiri dalam pertukaran data dan bahkan ada yang menggunakan format data proprietary. Perlu ada suatu badan yang memikirkan bagaimana caranya suatu instansi dapat (misalnya) mengambil informasi dari BKN atau informasi tentang pajak seseorang melalui jalur komunikasi data dalam format data yang disepakati. Atau misalnya badan tersebut sudah ada, perlu ada dorongan hukum lagi agar semua instansi menaati. Data yang dipertukarkan boleh menggunakan format data yang sudah ada atau menggunakan jenis data baru, asalkan formatnya terbuka. Dengan adanya interoperabilitas, banyak waktu dapat dipotong (plus biaya plus pikiran) saat suatu instansi membutuhkan data dari instansi lain. Selain itu, masyarakat yang membutuhkan akses ke sistem informasi milik pemerintah juga dapat terbantu.
Dalam hal interoperabilitas, adalah hal yang krusial juga untuk menentukan apakah data yang dipertukarkan benar-benar valid dan sah dari sisi instansi yang benar? Saat ini sulit dibuktikan karena tidak adanya PKI yang mendukung hal ini.

Keterbukaan data

Data yang dapat disajikan ke publik sudah sebaiknya dipublikasikan ke publik dengan lisensi bebas. Karena sekarang publik sudah semakin pandai, sebaiknya data yang dipublikasikan adalah data mentah, namun lengkap. Industri-industri kreatif dapat bermunculan dan memanfaatkan data ini sehingga dapat meningkatkan daya guna dan manfaat data tersebut. Data pemerintah dari tangan pertama seperti data tabular, peta, sensor, dan sebagainya saat ini masih sangat kurang tersedia di publik. Barangkali perlu ada pusat publikasi data yang dikoordinasikan oleh suatu kementrian (mungkin KOMINFO) agar dapat menjadi suatu titik di mana masyarakat dapat mencari data.

Internet

Internet cepat buat apa? Pertanyaan yang cukup populer beberapa waktu lalu. Namun bila kita lihat lebih dalam lagi, mungkin memang pertanyaannya valid dan perlu dijawab. Kebutuhan internet seseorang belum tentu sama dengan kebutuhan orang yang lainnya, dan jika kita dapat mengumpulkan data yang cukup, kita bisa mengoptimalkan di sisi mana internet perlu ditingkatkan. Apakah dari sisi regulasi, apakah dari sisi implementasi, dan sebagainya. Data yang terkumpul bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, operator hingga masyarakat agar bisa menyediakan layanan internet dengan baik. Namun sehubungan dengan kata "cepat" itu, seberapa cepat internet dianggap "cepat"? Bagaimana jika pemerintah mengeluarkan regulasi agar operator tidak menggunakan istilah "up to" untuk mengiklankan kecepatan layanannya, tapi lebih menggunakan kata "mulai dari" yang menunjukan komitmen kecepatan terkecil yang bisa operator sajikan.


Demikian.

Sudah banyak negara-negara yang dapat kita jadikan contoh bagaimana cara melaksanakan hal ini tinggal kita sendiri apakah mau melakukannya atau tidak.

Jumat, 09 Mei 2014

Sulitnya migrasi ke Android

Sejak pakai UX MeeGo, saya selalu kesulitan menggunakan perangkat lain dengan UX yang berbeda. Beragam perangkat sudah saya coba, namun belum ada yang sesuai. Padahal saya perlu perangkat baru karena perangkat Nokia N9 saya yang mulai tidak dapat mengimbangi aktivitas saya.

Kemudian saya berkenalan dengan BlackBerry 10. Jauh sebelum produk tersebut diluncurkan karena saya diberi kesempatan untuk menggunakan perangkat pengembangan mereka yang diberi nama Device Alpha A. Di sini saya menemukan kecocokan karena UX yang mirip dengan MeeGo. Kemudian saya memutuskan untuk menggunakannya dan menggantikan N9 saya.

Saya termasuk tipe orang yang sering berubah-ubah konteks pemikiran. Saat bekerja, saat bicara, saat santai juga sering berubah konteks. Beberapa orang yang mengenal saya mungkin menyadari betapa sering dan cepat saya bicara dalam satu konteks, kemudian mengganti topik pembicaraan, kemudian kembali lagi ke topik awal, semua dalam waktu yang relatif singkat.

Dalam menggunakan komputer dan perangkat bergerak juga begitu. Saat saya masih pakai komputer Linux tanpa X, saya menggunakan jasa tombol pintas Alt-F1 sampai Alt-F12 untuk menukar hingga 12 konsol aplikasi. Setelah menggunakan X, Alt-Tab juga sering dipakai.

Di MeeGo dan BlackBerry 10, saya menggunakan gestur sapuan dari bawah layar ke atas untuk bertukar aplikasi dengan cepat. Bahkan memungkinkan untuk mengintip isi aplikasi yang satu dengan mengusap layar dari bawah separuh jalan ke atas, tanpa harus berpindah ke aplikasi itu.

UX seperti ini sangat diperlukan saat-saat saya memerlukan akses ke beberapa aplikasi dalam waktu bersamaan. Contohnya, saat melakukan pembayaran di bank di Internet.

Saya memerlukan kode verifikasi dari toko yang ada di program SMS. Saya juga perlu nomor rekening yang ingin di transfer, yang tercatat di program surel. Kemudian melakukan pembayaran di peramban web. Yang biasa saya lakukan di BlackBerry 10 adalah:

o membuka peramban
o login ke dalam bank
o pindah ke surel
o menyorot dan menyalin nomor rekening
o buka sms
o pindah ke peramban
o tempel
o intip kode verifikasi di sms

semua dilakukan tanpa menutup ketiga aplikasi dan melakukannya dengan gestur yang sama, yaitu mengusap layar dari bawah. Bahkan salah satu layanan bank internet yang saya gunakan tidak membolehkan salin tempel, sehingga saya harus mengetikkan ulang nomor rekening dan nomor verifikasi. Hal itu sangat mudah dengan cara mengintip aplikasi.

Sekarang, semua perangkat BlackBerry 10 saya sudah rusak semua dan memiliki perangkat Android baru. Lagi pula tidak ada layanan Google Hangout yang sangat saya butuhkan dalam bekerja di BlackBerry 10. Jadi saya hatlrus migrasi ke Android.

Namun saya mengalami kesulitan melakukan skenario di atas. Setelah eksplorasi sebentar, ternyata bisa melakukan hal di atas, namun langkahnya lebih panjang. Dengan menekan tombol menu yang lama, akan muncul daftar aplikasi yang bisa kita panggil kembali. Namun tidak ada yang setara dengan pintasan Alt-Tab di komputer atau gestur sapu layar bawah di MeeGo atau BlackBerry 10 karena kita harus tetap memilih aplikasinya lagi di layar.

Itu baru tentang tukar aplikasi, belum lagi misalnya saat asyik membaca tiba-tiba layar hitam dan terkunci. Di BlackBerry 10 lagi- lagi tinggal usapkan jari dari bawah layar ke atas. Di Android, saya perlu tekan tombol daya, kemudian buka kunci layar.

Ada saran bagaimana caranya agar menemukan UX serupa di Android?